A. Islam dan Demokrasi
Mendudukan
Posisi: Islam dan Demokrasi
Islam adalah agama. Sebagai agama,
Islam diyakini dan dipahami merupakan seperangkat ketentuan dan aturan (aqidah
wa al-syari‟ah) yang bersumber dari Allah Swt. Agama, dalam keseluruhan
aspek ajarannya, dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi manusia. Karena ia
menjadi panduan bagi kehidupan manusia, berarti ia juga harus menjadi basis
bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara lain meliputi
perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya
kumpulan ajaran Allah Swt, Islam
terkodifikasikan dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an inilah yang kemudian menjadi
rujukan perilaku manusia. Tetapi, karena ajaran-ajaran dalam al-Qur‟an
memerlukan penjelasan, maka keberadaan Nabi Muhammad Saw., adalah berperan
sebagai orang yang menjelaskan al-Qur‟an (mubayyin al-Qur‟an). Nabi
Muhammadlah yang kemudian memberikan penjelaskan secara operasional terhadap
ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Karena itu kemudian, keduanya
--al-Qur‟an dan Sunnah-- menjadi rujukan bagi perilaku umat Islam.
Memperhatikan Islam sebagai
kumpulan ajaran yang berasal dari Allah Swt., dan kemudian dilembagakan melalui
Nabi Muhammad Saw., dapat dikatakan bahwa yang bisa disebut memiliki kemutlakan
untuk mengatur manusia di sini adalah Allah. Dalam pandangan ini Allahlah yang
memiliki kedaulatan atas manusia. Allahlah (al-Khaliq) yang menentukan
segala ketentuan dan aturan untuk sekalian ciptaannya (al-Makhluq),
termasuk di dalamnya adalah manusia. Dengan demikian manusia harus tunduk dan
patuh kepada semua ketentuan dan aturan Allah ini. Dalam pada itu ketentuan dan
aturan yang bersumber dari Allah dipandang memiliki nilai kemutlakan (ultimate).
Dengan demikian penilaian atas sesuatu yang dilakukan oleh Islam terhadap
perilaku manusia secara pasti dan mutlak telah ditentukan apakah itu termasuk
dalam kategori benar atau salah. Ketentuan hukum yang demikian adalah mutlak
adanya dan tidak bisa dirubah dan akan berlaku sepanjang kehidupan manusia.
Di pihak lain dikenal adanya faham
tentang „demokrasi‟. Menurut kamus, demokrasi adalah „pemerintahan oleh rakyat
dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh
rakyat atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas‟.
Dalam kaitan ini demokrasi adalah suatu sistem di mana warga negara bebas
mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas. Dari pendefinisian yang
demikian bisa dilihat adanya implikasi antara lain terhadap: (a) cara
pengangkatan kepala negara atau semua jajaran pejabat lembaga pemerintahan, (b)
cara pengambilan keputusan tentang suatu perundang-undangan atau peraturan
pemerintah.
Kebebasan dan demokrasi sering
dipakai secara timbal balik, tetapi keduanya tidak sama. Demokrasi sesungguhnya
adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga
menyangkut seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah yang
panjang. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah „pelembagaan‟
dari kebebasan. Oleh karena itu wajar kalau dalam perkembangan wacana
demokrasi ini terkait dengan persoalan kebebasan, misalnya saja hak asasi
manusia, persamaan di depan hukum, dan toleransi. Karena di dalam contoh-contoh
tersebut terkandung makna kebebasan warga negara.
Sekalipun ada pemilikan kemutlakan
dan kedaulatan yang berbeda antara Islam dan demokrasi, tidak berarti dengan
sendirinya Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Banyak persoalan yang harus
diurai lebih jauh mengenai kompatibilitas dan tidak kompatibelnya Islam dengan
demokrasi. Tetapi, penjajaran Islam dengan demokrasi secara serta merta adalah merupakan
cara pandang yang salah dan jelas keliru. Karena Islam merupakan seperangkat
ketentuan dan aturan yang terkait dengan otoritas Allah Swt., secara mutlak.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, orang yang menyatakan bahwa antara Islam dan
demokrasi terdapat segi-segi persamaan, itu hanyalah berarti menerangkan
sebagian dari hakekatnya; karena hakekat yang sempurna ialah, antara Islam dan
demokrasi ada perbedaan. Bahkan menurutnya yang lebih tepat ialah ada hal-hal
yang bersesuaian, tetapi banyak hal-hal yang tidak bersesuaian. Seperti juga
yang diakui oleh Bassam Tibbi, ia sependapat dengan yang dikemukakan oleh Hamid
Enayat: “Jika Islam sampai pada konflik dengan postulat-postulat demokrasi
tertentu, itu adalah karena karakter umumnya sebagai sebuah agama…melibatkan
banyak asksioma yang suci”. Sementara demokrasi bersandar pada otoritas
manusia, dan
lebih menyangkut masalah prosedural. Meskipun diakui, dalam perkembangannya
pemahaman terhadap demokrasi menjadi semakin kompleks, seperti misalnya hak-hak
minoritas, jaminan hak-hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur,
persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara
konstitusional, menghargai pluralisme, toleransi, kerjasama dan mufakat.
B.
Persoalan
Krusial: Islam dan Demokrasi
1.
Masalah
Kedaulatan Tuhan dengan Kedaulatan Manusia
Konsep
kedaulatan menurut Abdullah Ahmed An-Na‟im memiliki bermacam-macam konotasi,
seperti misalnya dalam hukum internasional, hukum konstitusional, dan filsafat
politik. Tetapi menurutnya, kedaulatan selalu menandai otoritas atau
pemerintahan yang tertinggi berdasar hukum. Kedaulatan didefinisikan sebagai
“kekuasaan tertinggi dengan mana rakyat diperintah dan bahwa seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu negara, secara politik tidak ada yang lebih
tinggi”.
Kedaulatan
dalam pengertian yang paling luas adalah „kekuasaan tertinggi, mutlak, dan
tidak bisa dikontrol; hak mutlak untuk memerintah‟. Dalam pandangan Maududi,
kedaulatan yang demikian hanya pantas diberikan kepada Allah Swt. Allahlah yang
berdaulat atas manusia, yang di dalamnya meliputi kehidupan moral, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik manusia. Menurutnya konsep kedaulatan ini
sebenarnya cukup sederhana, karena di dalam al-Qur‟an secara jelas dikatakan
bahwa Allah adalah Pencipta, Pemelihara dan Penguasa alam semesta ini. Oleh
karena itu kehendakNyalah yang dominan dalam kehidupan alam ini. Kehendaknyalah
yang kemudian berkedudukan menjadi atau sebagai undang-undang”.
Di
antara ayat-ayat al-Qur‟an yang dirujuk Maududi sebagai dasar pijakan konsep
kedaulatan Allah (Sovereignity of God) adalah firman Allah dalam surat Yusuf
(12):40 yang berbunyi: “…Keputusan itu hanyalah keputusan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Juga dalam surat Al-Maidah (5):45
yang berbunyi: “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim”. Juga dalam
surat Al-Nahl (16):116 yang berbunyi: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta „ini halal dan ini haram‟…”.
Ayat-ayat
di atas menegaskan bahwa ketentuan hukum merupakan otoritas Allah. Allah
memiliki kemutlakan dalam menentukan semua ketentuan kepada manusia. Dalam hal
memerintah dan melarang yang dilakukan oleh para Nabi tidak pernah terlepas
dari Otoritas Allah. Bahkan Nabi tidak akan melakukan sesuatu tanpa seijin
dariNya. Mereka melakukan segala sesuatu terhadap apa yang telah ditentukan
oleh Allah. Kalau kedudukan para nabi yang seperti itu bagaimana dengan manusia
kebanyakan. Tentu saja bahwa manusiapun hanya diperintahkan untuk tunduk dan
patuh pada semua ketentuan yang telah diaturkan Allah kepadanya.
Dilihat
dari cara pandang di atas, maka Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Oleh
karena dalam demokrasi, kekuasaan dan hukum sepenuhnya diputuskan dan berada di
tangan rakyat, apakah itu langsung maupun melalui perwakilan. Dalam demokrasi
hukum dan perundang-undangan diubah dan diganti semata-mata berdasarkan
pendapat dan keinginan rakyat. Hanya saja persoalan yang kemudian muncul,
seperti yang ditanyakan An-Naim, apakah kedaulatan itu bisa didelegasikan,
kepada siapa, seberapa jauh dan untuk tujuan apa?.
Menurut An-Na‟im, isu pokok yang
mendasari semua problem dalam Islam adalah bemuara pada adanya ambivalensi pada
konsep kedaulatan ini. Meskipun tidak diragukan lagi bahwa otoritas tertinggi
berada di tangan Allah, namun tidak dengan sendirinya Allah menunjukkan siapa
yang berwewenang untuk bertindak atas nama kedaulatan tertinggi itu. Ketika Nabi masih
hidup jawaban terhadap masalah ini tidak diperselisihkan. Tetapi setelah Nabi
wafat, hak semua orang untuk menyatakan diri posisi sebagai wakil kedaulatan
Allah menjadi masalah. Di satu pihak ada klaim yang menyatakan bahwa para
khalifah itulah sebagai pemegang kedaulatan Allah. Sementara di pihak lain
menyatakan bahwa dari pihak keluarga Nabi itulah yang mewarisi kedaulatan
tersebut.
Gagasan An-Na‟im untuk mengatasi
kontroversi ini adalah dengan cara mengajukan pertanyaan: “Bisakah gagasan
tentang wakil kedaulatan Allah dipertemukan dengan konstitusionalisme?”. Dalam
pertanyaan ini terkandung pemikiran bahwa wakil kedaulatan Allah adalah ummah,
totalitas rakyat negara Islam, tidak terbatas pada seseorang secara individual
atau kelompok. Jika umat merupakan wakil kolektif kedaulatan Allah, maka mereka
berhak untuk menunjuk wakil-wakilnya untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan
dan mempertanggungjawabkan kepada umat sebagai agen kedaulatan Allah yang asli.
Dari gagasan yang demikian dapat diturunkan suatu mekanisme operasional
implementasi konsep pemerintahan representatif yang bertanggungjawab. Dikatakan
olehnya bahwa syari‟ah memang tidak pernah menunjukkan mekanisme dan prosedur
yang jelas untuk pemilihan khalifah oleh rakyat secara luas, untuk pertanggungjawabannya
dalam memegang jabatan, atau untuk suksesi secara reguler dan damai.
Senada dengan
pemikiran An-Na‟im adalah apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab. Menurutnya
ada dua kata atau istilah dari al-Qur‟an yang dapat dijadikan rujukan
bahwasanya manusia (umat) memiliki peran untuk memegang wakil kedaulatan Allah
di bumi ini. Kedua istilah itu adalah istikhlaf dan isti‟mar.
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang
sebanyak dua kali (2:31 dan 38:26) dalam al-Qur‟an. Bentuk jamak dari kata itu
ada dua macam khulafa dan khalaif.Masing-masing kata ini
mempunyai makna sesuai dengan konteksnya. Ketika Allah mengangkat Adam sebagai
khalifah, kata yang dipakai adalah dalam bentuk tunggal; sementara ketika
berbicara tentang pengangkatan Daud sebagai khalifah, kata yang digunakan dalam
bentuk jamak (plural). Penggunaan bentuk kata tunggal pada Adam adalah
dilatar belakangi atau disebabkan karena ketika itu memang belum ada masyarakat
manusia, apalagi baru dalam bentuk ide. Redaksi yang ada dalam ayat itu ada “Aku
akan…”. Sedangkan pada Daud, digunakan bentuk jamak serta kata kerja masa
lampau, “Kami telah…” untuk mengisyaratkan adanya keterlibatan selain
dari Allah (dalam hal ini restu masyarakatnya) dalam pengangkatan tersebut. Di
sisi lain dapat dikatakan bahwa mengangkat seorang khalifah dapat saja
dilakukan oleh satu oknum, kalau itu baru dalam bentuk ide. Tetapi kalau akan
diwujudkan di alam nyata hendaknya dilakukan oleh orang banyak atau masyarakat.
Kata
ista‟mara ditemukaan dalam surat Hud (11):61. Kata ini mengandung arti
adanya permintaan. Oleh karena itu arti dari ayat tersebut adalah “Dia Allah
yang menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu memakmurkannya”. Kata „ista‟marakum‟
berarti „menjadikan kamu atau „meminta/menugaskan kamu‟ mengolah bumi guna
memperoleh manfaatnya. Menurut Quraish Shihab, di satu sisi penugasan tersebut
dapat merupakan „pelimpahan kekuasaan politik‟; atau di sisi lain karena yang
menugaskan itu Allah Swt., maka manusia dalam mengemban tugas itu harus
memperhatikan kehendak yang menugaskannya. Atau seperti yang terjadi pada saat
pengangkatan khalifah, maka khalifah itu (yang diberi kekuasaan politik atau
mandataris) harus memperhatikan hubungannya dengan yang memberi kekuasaan.
Dengan
memperhatikan dua pendapat di atas, maka dapat dibuat suatu mekanisme
konstitusional dalam membentuk suatu kekuasaan politik atau pemerintahan,
seperti yang diusulkan An-Na‟im. Kekuasaan politik yang terbentuk kemudian
adalah sebagai representasi umat. Dalam kontkes yang demikian dan dengan
mendasarkan pada prinsip „syura‟ (musyawarah) maka Islam tidak
bertentangan dengan demokrasi. Melalui mekanisme syura ini bisa diterapkan
kepada unsur-unsur politik demokrasi seperti misalnya pemilihan umum, pemilihan
presiden, pemlihan anggota parlemen, penetapan perundang-undangan dan
seterusnya.
Hanya saja persoalan yang dihadapi
di sini tidak semata mekanisme pemerintahan yang memang tidak diatur secara
tegas, tetapi yang lebih mendasar adalah apakah prosedur demokratik itu tidak
bertentangan dengan Islam ketika ia diberlakukan untuk memutuskan suatu suatu
hukum atau perundang-undangan yang jelas-jelas sudah ditegaskan dalam
al-Qur‟an. Menurut Quraish Shihab, prinsip musyawarah ini tidak bisa
diberlakukan kepada semua persoalan. Persoalan-persoalan yang telah ada
petunjuknya dari Allah secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui
Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti misalnya cara-cara beribadah.
Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya,
serta persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya bersifat
global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.
Sementara itu, seperti diketahui
ada sejumlah masalah yang sudah mutlak ketentuan hukumnya, misalnya saja
berkaitan dengan kewajiban ibadah-ibadah mahdhah (murni), keharaman
babi, judi, riba dan seterusnya. Prosedur demokratik, dalam hal-hal tertentu
tidak bisa merubah ketentuan wajibnya ibadah shalat, puasa, zakat atau haji,
karena ia merupakan persoalan yang sudah qath‟i. Prosedur demokratik
barangkali baru bisa dilakukan pada persoalan-persoalan yang sifatnya dzanni.
Oleh karena itu, untuk memperjelas di mana letak otoritas Allah dan otoritas
manusia, kiranya di sini harus dijelaskan dan dipilahkan pula
persoalan-persoalan yang masuk ke dalam dua kategori tadi, qath‟i dan dzanni.
Berkenaan
dengan ayat-ayat al-Qur‟an ini, sebagai rujukan hukum dan perundang-undangan,
ada ayat-ayat yang termasuk kategori qath‟i al-dalalah dan dzanni
al-dalalah. Qath‟i al-dalalah, seperti yang dikemukakan oleh Abdul
Wahhab Khallaf atau Abu Al-„Ainain Badran, adalah “sesuatu (ayat) yang menunjuk
kepada hukum dan tidak mengandung kemungkinan (makna) selainnya”. Dan dengan
demikian dzanni al-dalalah adalah sesuatu (ayat) yang menunjuk kepada
adanya kemungkinan beberapa makna.
Menanggapi adanya dua kategori ayat tersebut di
atas, Al-Syatibi menyatakan bahwasanya tidak ada yang qath‟i di dalam al-Qur‟an
kalau ayat-ayat tersebut dilihat secara berdiri sendiri. Ia lebih lanjut
menegaskan suatu proses ketika kemudian diperoleh suatu hukum yang diangkat
dari nash sehingga pada akhirnya dinamai qath‟i. Kepastian makna (qath‟iyyah
al-dalalah) suatu nash menurutnya muncul dari sekumpulan dalil dzanni yang
kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sama
dari dalil-dalil yang beraneka ragam dipandang memberikan „kekuatan‟
tersendiri. Kekuatan dari himpunan tersebut menjadikannya tidak dzanni lagi. Ia
telah meningkat menjadi semacam mutawatir maknawi, dan dengan demikian
dinamailah sebagai qath‟i ad-dalalah.
Namun
demikian perlu juga ditambahkan, menurut Quraish Sihab, suatu ayat atau hadis
dapat menjadi qath‟i dan dzanni pada saat yang sama. Firman Allah mengenai
perintah untuk membasuh kepala saat berwudlu (wa imsahu bi ru‟usikum)
adalah termasuk qath‟i ad-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepada.
Tetapi ia menjadi dzanni ad-dalalah ketika berkaitan dengan batas-batas
kepala yang harus dibasuh, Keqath‟ian dan kedzannian tersebut disebabkan karena
seluruh ulama bersepakat (ijma) menyatakan kewajiban membasuh kepala. Akan
tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan „ba‟ pada
lafal biru‟usikum. Di satu sisi menunjuk makna yang pasti, tetapi di
sisi lain memberikan kemungkinan makna yang lain20.
Dengan
menggunakan kerangka pikir yang dikemukakan oleh Qursih Shihab bahwasanya suatu
nash (ayat) dapat menjadi qath‟i dan dzanni pada saat yang sama,
memberi kesempatan kepada umat Islam untuk mengadaptasikan pokok-pokok pikiran
tertentu dalam al-Qur‟an dengan perkembangan politik modern, demokrasi
misalnya. Pada dataran pikiran ini gagasan wakil kedaulatan Allah dapat
dioperasionalkan melalui konstitusionalisme. Melalui mekanisme ini dapat
ditentukan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai cara untuk
mengatur kehidupan suatu negara, apakah itu berkaitan dengan mekanimse
pemilihan presiden, lembaga-lembaga pemerintahan atau pemilihan umum. Dasar
pijakan qath‟i penyelenggaraan mekanisme ini adalah „syura‟(QS 3:159,
42:38). Kekhalifahan kolektif dalam bentuk ummah dalam suatu negara Islam
dapat direfleksikan melalui syura, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama
sebagai khalifatullah (agen Allah)21. Hanya saja perlu untuk dipahami,
baik al-Qur‟an maupun Nabi Saw., tidak memberikan perincian mengenai mekanisme
musyawarah ini. Nabi hanya mengatakan “Kalian lebih mengetahui persoalan dunia
kalian” (Imam Muslim).
Persoalan kedua yang tidak bisa
diadaptasikan melalui prosedur demokratis adalah adanya hukum-hukum yang qath‟i
adanya. Misalnya tentang keharaman zina, minuman keras, berjudi dan seterusnya.
Prosedur demokratis, dengan mengatasnamakan kedaulatan rakyat, tidak bisa
dilakukan untuk melakukan perubahan terhadap keharaman hal-hal itu. Dengan
demikian, sekalipun kedaulatan Allah dapat didelegasikan melalui wakil
kedaulatan Allah atau umat dalam bentuk konstitusionalisme, namun ia dalam
batas-batas tertentu tidak dengan serta merta melakukan perubahan hukum-hukum
Allah tadi.
Justru yang terjadi bisa sebaliknya, bahwa konstitusi berkewajiban untuk
menegakkan hukum tersebut.
Walaupun syura dalam bentuk wakil
kedaulatan Allah di dalam Islam membenarkan pendapat mayoritas, terutama dalam
mekanimse pemerintahan, namun syura mengaitkannya tidak semata dengan „kontrak
sosial‟, melainkan juga dengan „Perjanjian Ilahi‟. Ini seperti
diisyaratkan berkenaan dengan pengangkatan Ibrahim a.s. sebagai imam.
Allah Swt., menyatakan “Allah berfirman, „Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
imam (pemimpin) bagi manusia‟. Ibrahim berkata, „Saya bermohon agar
pengangkatan ini dianugerahkan juga kepada sebagian keturunanku‟. Dia Allah
berfirman, „Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim” (QS
Al-Baqarah (2):124).
Oleh karena itu dapat disimpulkan
di sini ada perbedaan yang mendasar antara wakil kedaulatan Allah dalam bentuk
syura dan demokrasi. Dalam demokrasi segala persoalan dapat dibahas dan
diputuskan berdasarkan suara mayoritas, tetapi tidak begitu dalam syura. Syura
yang didasarkan pada ajaran Islam tidak membenarkan untuk memusyawarahkan
segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Allah secara tegas dan pasti,
dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran Allah.
2.
Masalah Kewarganegaraan
Masalah
kedua yang dipandang problematis dalam Islam adalah masalah kewarganegaraan.
Siapakah yang tercakup warga negara dalam Islam dan bagaimana kedudukan mereka.
Menurut An-Na‟im tidak ada satupun negara yang secara logis diharapkan
memberikan hak-hak sipil, sosial, ekonomi, dan politik secara penuh terhadap
orang-orang yang kebetulan lahir di dalam wilayah negaranya.
Tidak
ada satu negarapun yang secara logis berhak memaksakan kewajiban yang
diperintahkan dengan menuntut kesetiaan dari siapa saja yang kebetulan berada
di dalam wilayahnya. Karena itu, sistem konstitusional dan perundang-undangan
biasanya akan membedakan diantara mereka yang berhak, mereka yang terhalangi
untuk melakukan kewajiban setia kepada negara, dan mereka yang tidak demikian.
Apakah yang harus menjadi kriteria untuk membedakan orang-orang ini menurut
juridiksi negara?
Kewarganegaraan
selalu berkaitan dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara di
hadapan negara. Bagaimanakah hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah negara
(Islam)?. Untuk mengurai masalah ini barangkali bisa ditelusuri dengan melihat
unsur-unsur dasar apa yang dijadikan basis pembentukan suatu negara. Ada
beberapa unsur yang dapat dijadikan modal sebagai unsur formatif suatu negara,
seperti agama, ras, bahasa, wilayah dan nasib yang sama. Namun demikian,
seberapa jauh keabsahan suatu negara yang hanya mendasarkan pada unsur-unsur
tertentu, agama misalnya. Sehingga pada saatnya, negara itu akan membedakan hak
dan kewajiban warga negaranya atas dasar agama. Menurut An-Na‟im menolak
kewarganegaraan penuh bagi seseorang yang dilahirkan dan menetap sebagai
penduduk dalam suatu wilayah suatu negara, tidak dapat diterima secara moral
dan politik, kecuali jika orang itu memilih dan memperoleh kewa rganegaraan
negara lain.
.
An-Na‟im lebih jauh menegaskan
bahwasanya logis untuk menerima premis bahwa mayoritas dan minoritas tidaklah
didasarkan pada faktor insidental yang permanen dan primordial seperti ras atau
jenis kelamin, yang tidak bisa diubah oleh individu. Seseorang tidak bisa
dipaksa untuk meninggalkan atribut esensialnya bagi kebebasan dan martabat
kemanusiaannya seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan, hanya karena ia
bukan bagian dari mayoritas. Oleh karena itu, suatu kebijakan dan hukum harus
selalu dibangun di atas dasar rasional, yang dihormati dan didukung oleh
seluruh warga negara, tanpa memandang ras, jenis kelamin, dan agama atau
keyakinannya. Dengan demikian, menurutnya, konsep ummah sebagai wakil
kolektif kedaulatan Allah dan kedaulatan manusia itu, dapat menjadi landasan
konstitusionalisme aktif hanya jika cakupan umat dalam Islam direvisi dengan
memasukkan „seluruh warga negara atas dasar kesamaan mutlak‟, tanpa
diskriminasi berdasarkan agama, ras, maupun jenis kelamin
Dalam negara islam meskipun ada
kebebasan dalam beragama tetapi tidak ada kebebasan berpolitik untuk warga
negara mon muslim. Dan karena itu terjadi deskriminasi terhadap hak dan
kewajiban sebagai warga negarayang dalam demokrasi sangat di jujunjumg tinggi.
Dalam negara islam tidak ada tempat bagi warga non muslim untuk berpolitik. meskipun dijaga
keamanan jiwa dan harta bendanya dengan aman, namun mereka tidak berhak untuk
berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan masyarakat secara luas. Mereka di
jamin dalam status Ahl
al-dzimmah.
Pendapat Ibn Taimiyah seperti
dinyatakan oleh Khalid Ibrahim Jindan memperlihatkan batasan-batasan yang
diberikan kepada ahl al-dzimmah, antara lain:
(a) tidak diberi kesempatan untuk
menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan dan administrasi,
(b) diharuskan mengenakan pakaian
yang berbeda dengan busana orang-orang Muslim
(c) perumahan ahl al-dzimmi tidak
diperbolehkan melebihi ketinggian rumah-rumah orang Muslim,
(d) tidak diperbolehkan
mempraktekan ibadat atau menyebarkan simbol-simbol mereka di kawasan yang
dihuni umat Islam, dan
(e) tidak diperbolehkan membangun
tempat-tempat peribadatan dengan tanpa izin pemerintah.
Menurut
Maududi, negara Islam sebagai negara yang bersifat ideologis, sudah sewajarnya
kalau ia harus melindungi dirinya sendiri dari intervensi pihak lain, termasuk ahl
al-dzimmah. Oleh karena itu, sekalipun ia memiliki hak-hak politik
tertentu, seperti misalnya perlindungan terhadap hak asasinya dan hak
berpartisipasi yang relatif, ahl al-dzimmah tidak akan dapat menjadi
kepala negara Islam dan juga tidak bisa untuk menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan. Namun demikian, seorang ahl al-dzimmah bisa menjadi
anggota Majelis sepanjang di dalam konstitusi itu ada jaminan:
(a)
Parlemen atau lembaga legislatif tidak berwenang untuk memberlakukan
undang-undang manapun yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah;
(b) Al-Qur‟an dan al-Sunnah akan menjadi
sumber dari segala sumber hukum; dan
(c)
Kepala Negara atau pejabat-pejabat di bawahnya haruslah seorang Muslim.
Dalam
pada itu Maududi mengecualikan ahl-dzimmah dari tugas kemiliteran,
karena dalam pendapatnya kewajiban pertahanan negara hanya diwajibkan kepada
penduduk Muslimnya saja.
Sebagai ganti jaminan keaanan ahl-dzimmah
harus membayar uang jaminan
keamanan yang disebut jizyah. Seperti tertuang dalam firman alloh yang berbunyi
sebagai berikut : “Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari
kemudian… Yaitu orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk”
(QS. At-Taubah (9):29)
. Dalam pandangan seperti dikemukakan
di atas, ketika ada perbedaan hak dan kewajiban pada masing-masing warga
negara, maka hal yang demikian tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi. Namun
demikian persoalan yang masih tersisa adalah apakah tidak ada hak bagi suatu
negara untuk, apalagi bagi suatu negara dengan corak ideologis --negara Islam--
sedini mungkin membentengi dan melindungi dirinya dari kemungkinan usaha-usaha
penghancuran negara. Perlakuan terhadap ahl al-dzimmah dapat dilihat
sebagai cara untuk melindungi negara sekaligus umat Islam. Sebab alasan yang
demikian bisa saja dikembalikan kepada al-Qur‟an bahwasanya “Orang-orang Yahudi
dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
sebenarnya)” (QS. Al-Baqarah (2):120). Atau pernyataan Allah yang berbunyi
“Janganlah orang-orang mu‟min mengambil orang-orang kafir sebagai awliya dengan
meninggalkan orang-orang mu‟min…” (QS. Ali Imran (3): 28).
Atau juga firmanNya yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu…” (QS. Ali Imran (3):118).
Selain pembatasan pada non muslin
di negara islam juga ada pembatasan pada kaum wanita , bahwa kaum wnita tidak
bisa menjadi imam suatu negara karena laki-laki lah yang harus menjadi
pemimpin. Pendapat ini di dasarkan pada surat al-Nisa ayat 34 yang berbunyi “Laki-laki
adalah pemimpin perempuan…”.
Tetapi quraish shihab, Ia menilai bahwasanya
tidak tepat untuk menjadikan ayat 34 surat al-Nisa di atas sebagai dasar
pembedaan hak politik antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya pendapat itu
bukan saja tidak sejalan dengan ayat itu, tetapi juga tidak sejalan dengan
makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat tersebut. Ayat ini terutama
berbicara mengenai kepemimpinan seorang suami terhadap seluruh keluarganya
dalam urusan rumah tangga. Kepemimpinan inipun tidak mencabut hak-hak isteri
dalam banyak segi, seperti
pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan
suami.
Menurut Quraish Shihab baik
laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak untuk berpolitik. Ia merujuk
sejumlah ayat yang dapat dijadikan dasar pendapatnya. Misalnya al-Qur‟an surat
Al-Taubah: 71 menyatakan “Dan orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka adalah awliya‟ bagi yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang ma‟ruf, mencegah yang munkar, mendirikan salat…”.
Kata awliya‟, dalam pengertiannya
mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan; sedang dalam pengertian menyuruh
yang ma‟ruf menyangkut segala segi kebaikan, dan di dalamnya termasuk
mengkritik atau memberi nasehat kepada penguasa.
Di sisi lain al-Qur‟an juga
mengajak umatnya (laki-laki dan perempuan) untuk bermusyawarah seperti
firmanNya “Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah” (QS 42:38).
Dengan demikian, laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab bersama untuk
membangun kehidupan politik bersma. Oleh karena itu tidak pada tempatnya kalau
kemudian ada perbedaan hak sipil dan politik antara laku-laki dan perempuan.
C.
Kompatibilitas
Islam dengan Demokrasi.
Dari
uraian diatas tentunya banyak ada ketidak samaan antara prinsip-prinsip yang
terdapat dalam Al Qur’an dan assunah dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sehingga
perlu adanya adaptasi yang parsial terhadap sejumlah ajaran
Islam sehingga ia kompatibel dengan demokrasi. Adaptasi
parsial ini bisa dilakukan dengan menelusuri sejumlah prinsip-prinsip pokok
yang ada di dalam Islam yang bisa dijadikan sebagai ukuran. Dalam kaitan ini
akan dikemukakan sejumlah prinsip yang sering dikemukakan oleh beberapa
kalangan ilmuwan Islam.
Di antara ilmuwan Muslim yang
menyatakan bahwasanya Islam kompatibel dengan demokrasi adalah Abdul Karim
Soroush. Soroush adalah seorang pemikir beraliran Syi‟ah. Ia termasuk pendukung
Revolusi Iran tahun 1979 dan mengambil peran aktif dalam perbaikan kurikulum
universitas pada masa awal revolusi. Tetapi belakangan ia tidak sepaham dengan
model pemerintah para mullah itu.
Soroush
menyatakan bahwa demokrasi bagi dunia Islam di dasarkan pada dua pilar. Pertama,
untuk menjadi orang yang benar-benar beriman, seseorang harus bebas. Keimanan
atau keyakinan yang berada di bawah ancaman atau paksaan adalah bukan keimanan
yang benar. Dan apabila seorang yang beriman secara bebas tunduk dan patuh,
bukan berarti bahwa ia mengorbankan kebebasan. Ia juga tetap memiliki kebebasan
untuk meninggalkan keyakinannya. Sangat kontradiksi apabila pada mulanya ada
kebebasan untuk beriman, tetapi kemudian menghilangkan kebebasan itu. Kebebasan
ini merupakan pilar (basis) demokrasi. Menurut Soroush keyakinan dan
keinginan dari mayoritas harus membentuk negara Islam yang ideal. Demokrasi
Islam bukan disuntikan dari atas; ia adalah sah apabila dirubah oleh mayoritas,
termasuk orang-orang yang tidak beriman.
Kedua,
pemahaman umat Islam terhadap dan tentang Islam senantiasa berkembang. Teks
kitab suci tidak berubah dan tidak akan berubah, tetapi penafsiran umat Islam
terhadap teks suci itu senantiasa berkembang, karena pemahaman itu dipengaruhi
oleh masa dan keadaan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa tidak ada penafsiran
yang absolut dan bersifat tetap yang berlaku sepanjang waktu dan di setiap
tempat. Dan bahkan menurutnya, tidak ada seorang individu atau sekelompok orang
yang berhak mengklaim bahwa hanya diri dan kelompoknyalah yang memiliki
otoritas untuk melakukan penafsiran terhadap ajaran agama.
Menurutnya Islam adalah agama yang
akan terus tumbuh dan berkembang. Tetapi pada saat yang bersamaan Islam tidak
harus diperlakukan sebagai ideologi modern atau menjadi totalitarian.
Meskipun demikian ia yakin bahwa Islam dapat dijadikan sebagai dasar bagi
perundang-undangan modern. Oleh karena itu ada fleksibilitas dalam
Islam. Dalam kaitannya dengan demokrasi ditegaskannya bahwa demokrasi Islam
dapat diaktualisasikan melalui adanya fleksibilitas ini.
Ilmuwan lain yang berbicara tentang
Islam dan demokrasi adalah Rachid al-Ghannouchi. Ghannouchi merupakan pemikir
Islam yang lahir dari situasi yang berkembang di Tunisia. Berbeda dengan
Soroush yang berlatar belakang Syi‟ah, Ghannouchi memiliki latar belakang
Sunni.Dalam kaitannya dengan demokrasi ia menganjurkan suatu „sistem yang
islami‟, yang karakteristiknya adalah pemerintahan mayoritas, pemilihan
yang bebas, kebebasan pers, perlindungan kepada mayoritas, adanya perlakuan
yang sama terhadap semua partai (sekular dan keagamaan), dan pemenuhan hak-hak
kepada kaum wanita. Peran Islam adalah memberikan suatu sistem dengan
nilai-nilai moral.
Pertama,
demokrasi Islam menurutnya pertama-tama sebagai hasil penafsiran terhadap kitab
suci. Islam menurutnya tidak datang dengan suatu program khusus berkenaan
dengan kehidupan manusia. Islam membawa prinsip-prinsip yang umum. Oleh karena
itu, adalah tugas umatnya untuk memformulasikan program tersebut melalui
interaksi antara prinsip-prinsip Islam dengan modernitas. Islam memberikan
jaminan untuk dilakukannya ijtihad. Proses „syura‟
(bermusyawarah) menurutnya berarti cara pengambilan keputusan yang kembali
kepada komunitas secara keseluruhan. Ditambahkannya bahwa nilai-nilai
demokratik seperti „pluralisme politik‟ dan „toleransi‟sepenuhnya
kompatibel dengan Islam. Islam mengakui adanya realitas pluralisme dalam
kehidupan, apakah itu yang berkaitan dengan kesukuan, kebangsaan, kebahasaan,
agama, ataupun yang bercorak aliran-aliran politik.
Kedua, demokrasi Islam pada dasarnya merupakan hasil
dari pengalaman manusia dewasa ini. Legitimasi negara-negara Muslim kontemporer
didasarkan pada kebebasan dari kolonialisme Eropa modern, suatu kebebasan
dimana unsur keagamaan dan sekuler, Muslim dan Kristen, terlibat secara
bersama-sama. Oleh karena itu „tidak ada ruang‟ untuk membuat perbedaan
di antara warga negara, dan persamaan yang sepenuhnya ini merupakan dasar bagi
setiap masyarakat Muslim. Ia menegaskan bahwa legitimasi yang sebenarnya adalah
legitimasi yang diperoleh melalui pemilihan. Menurutnya Islam mengutuk
pemakaian agama untuk tujuan yang bersifat material atau hegomonik, seraya
mengutip al-Qur‟an surat al-Hujurat (49):13 “Wahai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu sekalian dari sepasang laki-laki dan perempuan, dan kemudian
kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kamu saling kenal
mengenal (bukan untuk saling membenci satu sama lain)…”. Ia juga menambahkan
bahwa ada keseimbangan antara teks suci dan realitas manusia yang disebut
dengan „realism‟ atau „logical reasoning atau „aqlanah‟. „Aqlanah
ini merupakan perkembangan yang dinamik dan terus berlangsung. Karena itu,
Ghannouchi memiliki keyakinan bahwa Islam dan demokrasi merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan.
Pendapat lain bahwa Islam kompatibel dengan
demokrasi dikemukakan oleh Laith Kubba, direktur International Forum for
Islamic Dialogue yang berkedudukan di London. Persoalan kompatibilitas Islam
dengan demokrasi, menurutnya dapat dilihat dari berbagai perspektif. Kubba
menyatakan bahwa Islam mengajarkan prinsip kebebasan, menghargai martabat
manusia, persamaan di antara manusia, pemerintahan dengan kontrak, kedaulatan
rakyat (popular sovereignity), dan penegakan hukum. Kegagalan umat Islam
dalam membangun sistem politik yang terbuka dan pemerintahan yang demokratis
berakar pada adanya kebudayaan politik yang otoriter dan manipulasi dalam menafsirkan
al-Qur‟an40. Lebih dari itu Kalim Siddiqui menegaskan bahwa hakekat yang
sebenarnya dari demokrasi sepenuhnya bergantung kepada pemahaman para pemikir
Muslim, yang kemudian merekomendasikan bahwa gerakan Islam itu sendiri harus
mengikuti proses demokratik. Dan menurutnya para penguasa feudal telah gagal
dalam memahami perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi
dalam masyarakatnya.