Pages

Subscribe:

Rabu, 09 Januari 2013

cinta dan penantian


Cinta Dan Penantian
Dede aan nuryana(anuy)
Ini adalah kisah cinta ku , cerita ini dimulai ketika aku duduk di sekolah dasar, diam-diam aku menyukai seorang gadis,gadis itu adalah teman sekelas ku,selama 6 tahun kami sekolah di SD,kami tidak pernah saling menyapa, apalagi bersendaa gurau seperti dengan teman-teman yang lain,  namanya juga cinta monyet melihat dari kejauhan saja sudah membuat hati berbunga-bunga.
Enam tahun di SD berlalu dengan cepat,tak terasa ujian kelulusan pun tiba, pada saat ujian berlangsung aku sering menanyakan jawaban ujian padanya, kadang kadang soal yang ku tanyakan sebenarnya sudah ku kerjakan, semua itu hanya alasan ku saja agar bisa menyapa nya... hahahay...!
Singkat cerita, kami pun lulus. Ini adalah saat paling menyedihkan bagi ku karena kami memilih jalan kami masing-masing, kami terpisah selama beberapa tahun.tapi penantian ku tak berahir di sana,aku tak pernah memikirkan apakah dia mencintaiku atau tidak, aku hanya mencintai dan mencitai tanpa berpikir untk memiliki.itu lah prinsip ku waktu itu.
Ternyata penantianku membuahkan hasil,tak pernah terbayangkan sebelumnya dua tahun setelah perpisahan itu , dia datang menyapaku lewat sebuah sms.itulah awal kedekatan ku dengan nya. Prinsip lama ku aku abaikan , setelah beberpa bulan kedekatan kami aku mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Setelah ku ungkapkan ternyta dia juga memiliki perasaan yang sama dengan ku maka terjalin lah ikitan cinta antara kami berdua walau pun saat itu kami backstreet(pada saat itu saya belum mengenal kata backstreeet, maklum aku dulu polos polos gimana gitch....hahahahaha).
Hubungan kami hanya bertahan tiga bulan,dia memutuskan hubungan itu tanpa alasan yang jelas, aku berpikir bawa mungkin dia sudah memiliki tambatan hati lain selain diriku, aku hanya bisa menerimanya dengan ikhlas.tapi walau pun seperti itu aku tak pernah membencinya, aku selalu berharap bahwa suatu hari nanti dia akan kembali kepadaku.
Tapi semua itu hanyalah menjadi angan angan ku sajah,semakin lama dia semakin menjauhi  ku,hingga sampailah pada saat aku lulus dari smp dia hadir kebali dalam kehdupan ku .ku kira di akan mengobati rasa sakit yang ia tanamkan dulu ternyata dia malah menambahkan rasa sakit itu. Setelah kejadian itu aku memutuskan untuk meninggalkan cinta pertamaku itu, dan aku memutuskan untuk mencari cinta selain dirinya. Dalam waktu beberapa hari aku bisa mendapatkan pengganti dia tapi tak bisa ku pungkiri cinta pertamaku tak pernah beranjak  pergi dari hati.
Dua tahun ku lalui dengan cinta yang lain, dia baik, tapi sipat nya yang kekanak kanakan sering membuat ku rungsing, hampir setiap hari kami bertengkar.tapi hal yang tak bisa ku maapkan adalah saat dia membohongiku, kebohongan nya terungkap ketika dia masuk sma , karena waktu dia masih smp kami jarang bertemu. Diam diam dia menyukai laki-laki lain, dia anak smk, mereka sering smsan,ku peringatkan 1 kali dia berjanji tak akan mengulanginya, tapi dia tetap saja bermain di belakang ku sampai-sampai ku beri dia tiga kesempatan namun dia selalu menyia nyiakan nya.
Aku merasa cape denga semua itu,setelah kejadiaan itu cinta ku berkurang 100%, tak ada lagi cinta di hatiku,tapi aku jadi teringat akan masa laluku,aku mencoba membuka lembaran lama itu, sehinga suatu ketika aku mebuka propil cinta pertamaku di facebook. Ku temukan no hp nya dari sana. Walau pun aku sudah mendapatkan no nya tapi aku tidak berani untuk mnghubunginya.
Singkat cerita,pada suatu ketika aku mencoba menanyakan kembali tentang alasan kenapa dia memmutuskan ku dulu.tapi dia tidak pernah menjawab nya dengan jelas,tapi itu menjadi awal kembalinya aku pada cinta pertamaku. Sampai tiba disaat aku memilih diantara keduanya. Dan aku memutuskan untuk kembali pada cinta pertamaku ,aku memilihnya karena hanya dia yang selalu mengisi hatiku selama ini. Ketulusan cinta yang dulu tak pernah kurasakan kini aku dapat merasakan nya. Namun sampai saat ini aku tak pernah tahu alasan kenapa dia memutuskan ku dulu,entah lahhh mungkin itu akan tetap menjadi tekateki yang tak terselesaikan.
(cerita ini masih belum selesai. ) hanya dia yang bisa menentukan akhir cerita ini, bisa menyedihkan bisa juga menyenangkan.
 to be continue...

Cinta sejati tidak akan pernah mati, sejauh apa pun cinta itu pergi dia pasti akan kembali.
 Terimakasih untuk nining nurmalasari yang telah memberi cerita ini dalam kehidupan ku ^-^............!
You always in my heart!!

Selasa, 08 Januari 2013

METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM


A.      Pengertian Metodologi Dan Metodologi Pemahaman Islam
Metodologi adalah cara-cara yang didapat dari pemikiran manusia baik dengan sumber pendukung ataupun tidak,  untuk  menyelesaikan suatu masalah ataupun untuk melakukan suatu pekerjaan supaya sesuai dengan tujuan suatu pekerjaan itu sendiri. Metodologi dapat diibaratkan sebagai kunci yang bisa membuka pintu rumah, pintu mobil atau pintu lemari, sehingga kita bisa melihat isinya.
Maka dapat diartikan bahwa metodologi pemahaman islam adalah  cara-cara yang dikemukakan oleh seseorang atau kelompok dengan tidak keluar dari pedoman agama Islam itu sendiri (Al-Qur’an dan hadits) supaya dapat magetahui bagaimana cara memahami agama islam dengan benar.
Metodologi yang tepat dalam memahami islam akan mengantarkan kita terhadap pemahaman yang utuh dan integral terhadap islam. Jadi tanpa metodologi, kita tidak akan mampu melihat isi ajaran islam dengan baik.
B.       Metodologi Pemahaman Islam
Ada beberapa tokoh yang mengemukakan pendapat tentang metode atau cara memahami Islam, diantaranya:


1.      Menurut Nasruddin Razak
Upaya memahami islam secara baik, benar dan kompherensif perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah saw. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama yang telah jauh dari bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fikih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
b.      Islam harus dipelajari secara integral, tidak parsial. Artinya dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan, tidak hanya sebagian saja. Memahami Islam secara parsial akan membahayakan, menimbulkan sikap skeptis, bimbang, dan penuh keraguan.
c.       Islam perlu dipelajari dari kepustakaan atau buku-buku yang ditulis oleh para ulama besar, cendikiawan muslim, sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah saw. dengan pengalaman dari praktik ibadah yang dilakukannya setiap hari.
d.      Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan-ketentuan normatif teologis yang ada dalam Al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.
e.       Islam dipelajari dan dihubungkan dengan berbagai persoalan yang dihadapi msnusia dalam masyarakat dan dilihat relasi serta relevansinya dengan persoalan-persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya, sains sepanjang sejarah manusia terutama sejarah umat Islam.
f.       Islam dipelajari dengan bantuan ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang sampai sekarang, seperti ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial, serta ilmu-ilmu kemanusiaan.
g.      Islam dipelajari dengan metode yang sesuai dengan agama dan ajaran Islam.
2.      Menurut Ali Syari’ati
Syari’ati mengemukakan bahwa ada dua metode fundamental untuk memahami islam secara benar, yaitu:
Ø  Pengkajian Al-Qur’an
Yaitu pengkajian intisari gagasan-gagasan dan output ilmu dari orang yang dikenal sebagai Islam.
Ø  Pengkajian Sejarah Islam
Yaitu pengkajian tentang perkembangan Islam sejak masa Rasul menyampaikan misinya hingga masa sekarang.
C.      Tujuan Metodologi
Adapun tujuan sebuah metodologi dalam upaya mempelajari dan memahami Islam antara lain sebagai berikut:
1.      Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam memahami Islam atau pemahaman Islam yang sesat.
2.      Untuk memberikan petunjuk cara-cara memahami Islam secara tepat, benar, sistematis, terarah, efektif, efisien, dan membawa orang untuk mengikuti kehendak agama. Bukan sebaliknya, agama yang harus mengikuti kehendak masing-masing orang.
3.      Penguasaan metode yang tepat akan menjadikan seseorang dapat mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya orang yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu semata, tidak akan memproduksi suatu ilmu.

ISLAM DAN DEMOKRASI


A.       Islam dan Demokrasi
                            Mendudukan Posisi: Islam dan Demokrasi
Islam adalah agama. Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami merupakan seperangkat ketentuan dan aturan (aqidah wa al-syari‟ah) yang bersumber dari Allah Swt. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi manusia. Karena ia menjadi panduan bagi kehidupan manusia, berarti ia juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya
kumpulan ajaran Allah Swt, Islam terkodifikasikan dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an inilah yang kemudian menjadi rujukan perilaku manusia. Tetapi, karena ajaran-ajaran dalam al-Qur‟an memerlukan penjelasan, maka keberadaan Nabi Muhammad Saw., adalah berperan sebagai orang yang menjelaskan al-Qur‟an (mubayyin al-Qur‟an). Nabi Muhammadlah yang kemudian memberikan penjelaskan secara operasional terhadap ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Karena itu kemudian, keduanya --al-Qur‟an dan Sunnah-- menjadi rujukan bagi perilaku umat Islam.
Memperhatikan Islam sebagai kumpulan ajaran yang berasal dari Allah Swt., dan kemudian dilembagakan melalui Nabi Muhammad Saw., dapat dikatakan bahwa yang bisa disebut memiliki kemutlakan untuk mengatur manusia di sini adalah Allah. Dalam pandangan ini Allahlah yang memiliki kedaulatan atas manusia. Allahlah (al-Khaliq) yang menentukan segala ketentuan dan aturan untuk sekalian ciptaannya (al-Makhluq), termasuk di dalamnya adalah manusia. Dengan demikian manusia harus tunduk dan patuh kepada semua ketentuan dan aturan Allah ini. Dalam pada itu ketentuan dan aturan yang bersumber dari Allah dipandang memiliki nilai kemutlakan (ultimate). Dengan demikian penilaian atas sesuatu yang dilakukan oleh Islam terhadap perilaku manusia secara pasti dan mutlak telah ditentukan apakah itu termasuk dalam kategori benar atau salah. Ketentuan hukum yang demikian adalah mutlak adanya dan tidak bisa dirubah dan akan berlaku sepanjang kehidupan manusia.
Di pihak lain dikenal adanya faham tentang „demokrasi‟. Menurut kamus, demokrasi adalah „pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas‟. Dalam kaitan ini demokrasi adalah suatu sistem di mana warga negara bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas. Dari pendefinisian yang demikian bisa dilihat adanya implikasi antara lain terhadap: (a) cara pengangkatan kepala negara atau semua jajaran pejabat lembaga pemerintahan, (b) cara pengambilan keputusan tentang suatu perundang-undangan atau peraturan pemerintah.
Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi keduanya tidak sama. Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga menyangkut seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah yang panjang. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah „pelembagaan‟ dari kebebasan. Oleh karena itu wajar kalau dalam perkembangan wacana demokrasi ini terkait dengan persoalan kebebasan, misalnya saja hak asasi manusia, persamaan di depan hukum, dan toleransi. Karena di dalam contoh-contoh tersebut terkandung makna kebebasan warga negara.
Sekalipun ada pemilikan kemutlakan dan kedaulatan yang berbeda antara Islam dan demokrasi, tidak berarti dengan sendirinya Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Banyak persoalan yang harus diurai lebih jauh mengenai kompatibilitas dan tidak kompatibelnya Islam dengan demokrasi. Tetapi, penjajaran Islam dengan demokrasi secara serta merta adalah merupakan cara pandang yang salah dan jelas keliru. Karena Islam merupakan seperangkat ketentuan dan aturan yang terkait dengan otoritas Allah Swt., secara mutlak. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, orang yang menyatakan bahwa antara Islam dan demokrasi terdapat segi-segi persamaan, itu hanyalah berarti menerangkan sebagian dari hakekatnya; karena hakekat yang sempurna ialah, antara Islam dan demokrasi ada perbedaan. Bahkan menurutnya yang lebih tepat ialah ada hal-hal yang bersesuaian, tetapi banyak hal-hal yang tidak bersesuaian. Seperti juga yang diakui oleh Bassam Tibbi, ia sependapat dengan yang dikemukakan oleh Hamid Enayat: “Jika Islam sampai pada konflik dengan postulat-postulat demokrasi tertentu, itu adalah karena karakter umumnya sebagai sebuah agama…melibatkan banyak asksioma yang suci”. Sementara demokrasi bersandar pada otoritas manusia, dan lebih menyangkut masalah prosedural. Meskipun diakui, dalam perkembangannya pemahaman terhadap demokrasi menjadi semakin kompleks, seperti misalnya hak-hak minoritas, jaminan hak-hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara konstitusional, menghargai pluralisme, toleransi, kerjasama dan mufakat.
B.          Persoalan Krusial: Islam dan Demokrasi
1.      Masalah Kedaulatan Tuhan dengan Kedaulatan Manusia
Konsep kedaulatan menurut Abdullah Ahmed An-Na‟im memiliki bermacam-macam konotasi, seperti misalnya dalam hukum internasional, hukum konstitusional, dan filsafat politik. Tetapi menurutnya, kedaulatan selalu menandai otoritas atau pemerintahan yang tertinggi berdasar hukum. Kedaulatan didefinisikan sebagai “kekuasaan tertinggi dengan mana rakyat diperintah dan bahwa seseorang atau sekelompok orang dalam suatu negara, secara politik tidak ada yang lebih tinggi”.
Kedaulatan dalam pengertian yang paling luas adalah „kekuasaan tertinggi, mutlak, dan tidak bisa dikontrol; hak mutlak untuk memerintah‟. Dalam pandangan Maududi, kedaulatan yang demikian hanya pantas diberikan kepada Allah Swt. Allahlah yang berdaulat atas manusia, yang di dalamnya meliputi kehidupan moral, sosial, budaya, ekonomi, dan politik manusia. Menurutnya konsep kedaulatan ini sebenarnya cukup sederhana, karena di dalam al-Qur‟an secara jelas dikatakan bahwa Allah adalah Pencipta, Pemelihara dan Penguasa alam semesta ini. Oleh karena itu kehendakNyalah yang dominan dalam kehidupan alam ini. Kehendaknyalah yang kemudian berkedudukan menjadi atau sebagai undang-undang”.
Di antara ayat-ayat al-Qur‟an yang dirujuk Maududi sebagai dasar pijakan konsep kedaulatan Allah (Sovereignity of God) adalah firman Allah dalam surat Yusuf (12):40 yang berbunyi: “…Keputusan itu hanyalah keputusan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Juga dalam surat Al-Maidah (5):45 yang berbunyi: “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim”. Juga dalam surat Al-Nahl (16):116 yang berbunyi: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta „ini halal dan ini haram‟…”.
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa ketentuan hukum merupakan otoritas Allah. Allah memiliki kemutlakan dalam menentukan semua ketentuan kepada manusia. Dalam hal memerintah dan melarang yang dilakukan oleh para Nabi tidak pernah terlepas dari Otoritas Allah. Bahkan Nabi tidak akan melakukan sesuatu tanpa seijin dariNya. Mereka melakukan segala sesuatu terhadap apa yang telah ditentukan oleh Allah. Kalau kedudukan para nabi yang seperti itu bagaimana dengan manusia kebanyakan. Tentu saja bahwa manusiapun hanya diperintahkan untuk tunduk dan patuh pada semua ketentuan yang telah diaturkan Allah kepadanya.
Dilihat dari cara pandang di atas, maka Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Oleh karena dalam demokrasi, kekuasaan dan hukum sepenuhnya diputuskan dan berada di tangan rakyat, apakah itu langsung maupun melalui perwakilan. Dalam demokrasi hukum dan perundang-undangan diubah dan diganti semata-mata berdasarkan pendapat dan keinginan rakyat. Hanya saja persoalan yang kemudian muncul, seperti yang ditanyakan An-Naim, apakah kedaulatan itu bisa didelegasikan, kepada siapa, seberapa jauh dan untuk tujuan apa?.
Menurut An-Na‟im, isu pokok yang mendasari semua problem dalam Islam adalah bemuara pada adanya ambivalensi pada konsep kedaulatan ini. Meskipun tidak diragukan lagi bahwa otoritas tertinggi berada di tangan Allah, namun tidak dengan sendirinya Allah menunjukkan siapa yang berwewenang untuk bertindak atas nama kedaulatan tertinggi itu. Ketika Nabi masih hidup jawaban terhadap masalah ini tidak diperselisihkan. Tetapi setelah Nabi wafat, hak semua orang untuk menyatakan diri posisi sebagai wakil kedaulatan Allah menjadi masalah. Di satu pihak ada klaim yang menyatakan bahwa para khalifah itulah sebagai pemegang kedaulatan Allah. Sementara di pihak lain menyatakan bahwa dari pihak keluarga Nabi itulah yang mewarisi kedaulatan tersebut.

Gagasan An-Na‟im untuk mengatasi kontroversi ini adalah dengan cara mengajukan pertanyaan: “Bisakah gagasan tentang wakil kedaulatan Allah dipertemukan dengan konstitusionalisme?”. Dalam pertanyaan ini terkandung pemikiran bahwa wakil kedaulatan Allah adalah ummah, totalitas rakyat negara Islam, tidak terbatas pada seseorang secara individual atau kelompok. Jika umat merupakan wakil kolektif kedaulatan Allah, maka mereka berhak untuk menunjuk wakil-wakilnya untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan dan mempertanggungjawabkan kepada umat sebagai agen kedaulatan Allah yang asli. Dari gagasan yang demikian dapat diturunkan suatu mekanisme operasional implementasi konsep pemerintahan representatif yang bertanggungjawab. Dikatakan olehnya bahwa syari‟ah memang tidak pernah menunjukkan mekanisme dan prosedur yang jelas untuk pemilihan khalifah oleh rakyat secara luas, untuk pertanggungjawabannya dalam memegang jabatan, atau untuk suksesi secara reguler dan damai.
Senada dengan pemikiran An-Na‟im adalah apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab. Menurutnya ada dua kata atau istilah dari al-Qur‟an yang dapat dijadikan rujukan bahwasanya manusia (umat) memiliki peran untuk memegang wakil kedaulatan Allah di bumi ini. Kedua istilah itu adalah istikhlaf dan isti‟mar.
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang sebanyak dua kali (2:31 dan 38:26) dalam al-Qur‟an. Bentuk jamak dari kata itu ada dua macam khulafa dan khalaif.Masing-masing kata ini mempunyai makna sesuai dengan konteksnya. Ketika Allah mengangkat Adam sebagai khalifah, kata yang dipakai adalah dalam bentuk tunggal; sementara ketika berbicara tentang pengangkatan Daud sebagai khalifah, kata yang digunakan dalam bentuk jamak (plural). Penggunaan bentuk kata tunggal pada Adam adalah dilatar belakangi atau disebabkan karena ketika itu memang belum ada masyarakat manusia, apalagi baru dalam bentuk ide. Redaksi yang ada dalam ayat itu ada “Aku akan…”. Sedangkan pada Daud, digunakan bentuk jamak serta kata kerja masa lampau, “Kami telah…” untuk mengisyaratkan adanya keterlibatan selain dari Allah (dalam hal ini restu masyarakatnya) dalam pengangkatan tersebut. Di sisi lain dapat dikatakan bahwa mengangkat seorang khalifah dapat saja dilakukan oleh satu oknum, kalau itu baru dalam bentuk ide. Tetapi kalau akan diwujudkan di alam nyata hendaknya dilakukan oleh orang banyak atau masyarakat.
Kata ista‟mara ditemukaan dalam surat Hud (11):61. Kata ini mengandung arti adanya permintaan. Oleh karena itu arti dari ayat tersebut adalah “Dia Allah yang menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu memakmurkannya”. Kata „ista‟marakum‟ berarti „menjadikan kamu atau „meminta/menugaskan kamu‟ mengolah bumi guna memperoleh manfaatnya. Menurut Quraish Shihab, di satu sisi penugasan tersebut dapat merupakan „pelimpahan kekuasaan politik‟; atau di sisi lain karena yang menugaskan itu Allah Swt., maka manusia dalam mengemban tugas itu harus memperhatikan kehendak yang menugaskannya. Atau seperti yang terjadi pada saat pengangkatan khalifah, maka khalifah itu (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris) harus memperhatikan hubungannya dengan yang memberi kekuasaan.
Dengan memperhatikan dua pendapat di atas, maka dapat dibuat suatu mekanisme konstitusional dalam membentuk suatu kekuasaan politik atau pemerintahan, seperti yang diusulkan An-Na‟im. Kekuasaan politik yang terbentuk kemudian adalah sebagai representasi umat. Dalam kontkes yang demikian dan dengan mendasarkan pada prinsip „syura‟ (musyawarah) maka Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. Melalui mekanisme syura ini bisa diterapkan kepada unsur-unsur politik demokrasi seperti misalnya pemilihan umum, pemilihan presiden, pemlihan anggota parlemen, penetapan perundang-undangan dan seterusnya.
Hanya saja persoalan yang dihadapi di sini tidak semata mekanisme pemerintahan yang memang tidak diatur secara tegas, tetapi yang lebih mendasar adalah apakah prosedur demokratik itu tidak bertentangan dengan Islam ketika ia diberlakukan untuk memutuskan suatu suatu hukum atau perundang-undangan yang jelas-jelas sudah ditegaskan dalam al-Qur‟an. Menurut Quraish Shihab, prinsip musyawarah ini tidak bisa diberlakukan kepada semua persoalan. Persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti misalnya cara-cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.
Sementara itu, seperti diketahui ada sejumlah masalah yang sudah mutlak ketentuan hukumnya, misalnya saja berkaitan dengan kewajiban ibadah-ibadah mahdhah (murni), keharaman babi, judi, riba dan seterusnya. Prosedur demokratik, dalam hal-hal tertentu tidak bisa merubah ketentuan wajibnya ibadah shalat, puasa, zakat atau haji, karena ia merupakan persoalan yang sudah qath‟i. Prosedur demokratik barangkali baru bisa dilakukan pada persoalan-persoalan yang sifatnya dzanni. Oleh karena itu, untuk memperjelas di mana letak otoritas Allah dan otoritas manusia, kiranya di sini harus dijelaskan dan dipilahkan pula persoalan-persoalan yang masuk ke dalam dua kategori tadi, qath‟i dan dzanni.
Berkenaan dengan ayat-ayat al-Qur‟an ini, sebagai rujukan hukum dan perundang-undangan, ada ayat-ayat yang termasuk kategori qath‟i al-dalalah dan dzanni al-dalalah. Qath‟i al-dalalah, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf atau Abu Al-„Ainain Badran, adalah “sesuatu (ayat) yang menunjuk kepada hukum dan tidak mengandung kemungkinan (makna) selainnya”. Dan dengan demikian dzanni al-dalalah adalah sesuatu (ayat) yang menunjuk kepada adanya kemungkinan beberapa makna.
Menanggapi adanya dua kategori ayat tersebut di atas, Al-Syatibi menyatakan bahwasanya tidak ada yang qath‟i di dalam al-Qur‟an kalau ayat-ayat tersebut dilihat secara berdiri sendiri. Ia lebih lanjut menegaskan suatu proses ketika kemudian diperoleh suatu hukum yang diangkat dari nash sehingga pada akhirnya dinamai qath‟i. Kepastian makna (qath‟iyyah al-dalalah) suatu nash menurutnya muncul dari sekumpulan dalil dzanni yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil yang beraneka ragam dipandang memberikan „kekuatan‟ tersendiri. Kekuatan dari himpunan tersebut menjadikannya tidak dzanni lagi. Ia telah meningkat menjadi semacam mutawatir maknawi, dan dengan demikian dinamailah sebagai qath‟i ad-dalalah.
Namun demikian perlu juga ditambahkan, menurut Quraish Sihab, suatu ayat atau hadis dapat menjadi qath‟i dan dzanni pada saat yang sama. Firman Allah mengenai perintah untuk membasuh kepala saat berwudlu (wa imsahu bi ru‟usikum) adalah termasuk qath‟i ad-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepada. Tetapi ia menjadi dzanni ad-dalalah ketika berkaitan dengan batas-batas kepala yang harus dibasuh, Keqath‟ian dan kedzannian tersebut disebabkan karena seluruh ulama bersepakat (ijma) menyatakan kewajiban membasuh kepala. Akan tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan „ba‟ pada lafal biru‟usikum. Di satu sisi menunjuk makna yang pasti, tetapi di sisi lain memberikan kemungkinan makna yang lain20.
Dengan menggunakan kerangka pikir yang dikemukakan oleh Qursih Shihab bahwasanya suatu nash (ayat) dapat menjadi qath‟i dan dzanni pada saat yang sama, memberi kesempatan kepada umat Islam untuk mengadaptasikan pokok-pokok pikiran tertentu dalam al-Qur‟an dengan perkembangan politik modern, demokrasi misalnya. Pada dataran pikiran ini gagasan wakil kedaulatan Allah dapat dioperasionalkan melalui konstitusionalisme. Melalui mekanisme ini dapat ditentukan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai cara untuk mengatur kehidupan suatu negara, apakah itu berkaitan dengan mekanimse pemilihan presiden, lembaga-lembaga pemerintahan atau pemilihan umum. Dasar pijakan qath‟i penyelenggaraan mekanisme ini adalah „syura‟(QS 3:159, 42:38). Kekhalifahan kolektif dalam bentuk ummah dalam suatu negara Islam dapat direfleksikan melalui syura, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama sebagai khalifatullah (agen Allah)21. Hanya saja perlu untuk dipahami, baik al-Qur‟an maupun Nabi Saw., tidak memberikan perincian mengenai mekanisme musyawarah ini. Nabi hanya mengatakan “Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian” (Imam Muslim).
Persoalan kedua yang tidak bisa diadaptasikan melalui prosedur demokratis adalah adanya hukum-hukum yang qath‟i adanya. Misalnya tentang keharaman zina, minuman keras, berjudi dan seterusnya. Prosedur demokratis, dengan mengatasnamakan kedaulatan rakyat, tidak bisa dilakukan untuk melakukan perubahan terhadap keharaman hal-hal itu. Dengan demikian, sekalipun kedaulatan Allah dapat didelegasikan melalui wakil kedaulatan Allah atau umat dalam bentuk konstitusionalisme, namun ia dalam batas-batas tertentu tidak dengan serta merta melakukan perubahan hukum-hukum Allah tadi. Justru yang terjadi bisa sebaliknya, bahwa konstitusi berkewajiban untuk menegakkan hukum tersebut.
Walaupun syura dalam bentuk wakil kedaulatan Allah di dalam Islam membenarkan pendapat mayoritas, terutama dalam mekanimse pemerintahan, namun syura mengaitkannya tidak semata dengan „kontrak sosial‟, melainkan juga dengan „Perjanjian Ilahi‟. Ini seperti diisyaratkan berkenaan dengan pengangkatan Ibrahim a.s. sebagai imam. Allah Swt., menyatakan “Allah berfirman, „Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi manusia‟. Ibrahim berkata, „Saya bermohon agar pengangkatan ini dianugerahkan juga kepada sebagian keturunanku‟. Dia Allah berfirman, „Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim” (QS Al-Baqarah (2):124).
Oleh karena itu dapat disimpulkan di sini ada perbedaan yang mendasar antara wakil kedaulatan Allah dalam bentuk syura dan demokrasi. Dalam demokrasi segala persoalan dapat dibahas dan diputuskan berdasarkan suara mayoritas, tetapi tidak begitu dalam syura. Syura yang didasarkan pada ajaran Islam tidak membenarkan untuk memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Allah secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Allah.
2.             Masalah Kewarganegaraan
Masalah kedua yang dipandang problematis dalam Islam adalah masalah kewarganegaraan. Siapakah yang tercakup warga negara dalam Islam dan bagaimana kedudukan mereka. Menurut An-Na‟im tidak ada satupun negara yang secara logis diharapkan memberikan hak-hak sipil, sosial, ekonomi, dan politik secara penuh terhadap orang-orang yang kebetulan lahir di dalam wilayah negaranya.
Tidak ada satu negarapun yang secara logis berhak memaksakan kewajiban yang diperintahkan dengan menuntut kesetiaan dari siapa saja yang kebetulan berada di dalam wilayahnya. Karena itu, sistem konstitusional dan perundang-undangan biasanya akan membedakan diantara mereka yang berhak, mereka yang terhalangi untuk melakukan kewajiban setia kepada negara, dan mereka yang tidak demikian. Apakah yang harus menjadi kriteria untuk membedakan orang-orang ini menurut juridiksi negara?
Kewarganegaraan selalu berkaitan dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara di hadapan negara. Bagaimanakah hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah negara (Islam)?. Untuk mengurai masalah ini barangkali bisa ditelusuri dengan melihat unsur-unsur dasar apa yang dijadikan basis pembentukan suatu negara. Ada beberapa unsur yang dapat dijadikan modal sebagai unsur formatif suatu negara, seperti agama, ras, bahasa, wilayah dan nasib yang sama. Namun demikian, seberapa jauh keabsahan suatu negara yang hanya mendasarkan pada unsur-unsur tertentu, agama misalnya. Sehingga pada saatnya, negara itu akan membedakan hak dan kewajiban warga negaranya atas dasar agama. Menurut An-Na‟im menolak kewarganegaraan penuh bagi seseorang yang dilahirkan dan menetap sebagai penduduk dalam suatu wilayah suatu negara, tidak dapat diterima secara moral dan politik, kecuali jika orang itu memilih dan memperoleh kewa rganegaraan negara lain.

.
An-Na‟im lebih jauh menegaskan bahwasanya logis untuk menerima premis bahwa mayoritas dan minoritas tidaklah didasarkan pada faktor insidental yang permanen dan primordial seperti ras atau jenis kelamin, yang tidak bisa diubah oleh individu. Seseorang tidak bisa dipaksa untuk meninggalkan atribut esensialnya bagi kebebasan dan martabat kemanusiaannya seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan, hanya karena ia bukan bagian dari mayoritas. Oleh karena itu, suatu kebijakan dan hukum harus selalu dibangun di atas dasar rasional, yang dihormati dan didukung oleh seluruh warga negara, tanpa memandang ras, jenis kelamin, dan agama atau keyakinannya. Dengan demikian, menurutnya, konsep ummah sebagai wakil kolektif kedaulatan Allah dan kedaulatan manusia itu, dapat menjadi landasan konstitusionalisme aktif hanya jika cakupan umat dalam Islam direvisi dengan memasukkan „seluruh warga negara atas dasar kesamaan mutlak‟, tanpa diskriminasi berdasarkan agama, ras, maupun jenis kelamin
Dalam negara islam meskipun ada kebebasan dalam beragama tetapi tidak ada kebebasan berpolitik untuk warga negara mon muslim. Dan karena itu terjadi deskriminasi terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negarayang dalam demokrasi sangat di jujunjumg tinggi. Dalam negara islam tidak ada tempat bagi warga non muslim untuk berpolitik. meskipun dijaga keamanan jiwa dan harta bendanya dengan aman, namun mereka tidak berhak untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan masyarakat secara luas. Mereka di jamin dalam status Ahl al-dzimmah.
Pendapat Ibn Taimiyah seperti dinyatakan oleh Khalid Ibrahim Jindan memperlihatkan batasan-batasan yang diberikan kepada ahl al-dzimmah, antara lain:
(a) tidak diberi kesempatan untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan dan administrasi,
(b) diharuskan mengenakan pakaian yang berbeda dengan busana orang-orang Muslim
 (c) perumahan ahl al-dzimmi tidak diperbolehkan melebihi ketinggian rumah-rumah orang Muslim,
(d) tidak diperbolehkan mempraktekan ibadat atau menyebarkan simbol-simbol mereka di kawasan yang dihuni umat Islam, dan
(e) tidak diperbolehkan membangun tempat-tempat peribadatan dengan tanpa izin pemerintah.

Menurut Maududi, negara Islam sebagai negara yang bersifat ideologis, sudah sewajarnya kalau ia harus melindungi dirinya sendiri dari intervensi pihak lain, termasuk ahl al-dzimmah. Oleh karena itu, sekalipun ia memiliki hak-hak politik tertentu, seperti misalnya perlindungan terhadap hak asasinya dan hak berpartisipasi yang relatif, ahl al-dzimmah tidak akan dapat menjadi kepala negara Islam dan juga tidak bisa untuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan. Namun demikian, seorang ahl al-dzimmah bisa menjadi anggota Majelis sepanjang di dalam konstitusi itu ada jaminan:
(a) Parlemen atau lembaga legislatif tidak berwenang untuk memberlakukan undang-undang manapun yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah;
 (b) Al-Qur‟an dan al-Sunnah akan menjadi sumber dari segala sumber hukum; dan
(c) Kepala Negara atau pejabat-pejabat di bawahnya haruslah seorang Muslim.
Dalam pada itu Maududi mengecualikan ahl-dzimmah dari tugas kemiliteran, karena dalam pendapatnya kewajiban pertahanan negara hanya diwajibkan kepada penduduk Muslimnya saja.
Sebagai ganti jaminan keaanan ahl-dzimmah harus membayar uang jaminan keamanan yang disebut jizyah. Seperti tertuang dalam firman alloh yang berbunyi sebagai berikut :Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian… Yaitu orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk” (QS. At-Taubah (9):29)
. Dalam pandangan seperti dikemukakan di atas, ketika ada perbedaan hak dan kewajiban pada masing-masing warga negara, maka hal yang demikian tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi. Namun demikian persoalan yang masih tersisa adalah apakah tidak ada hak bagi suatu negara untuk, apalagi bagi suatu negara dengan corak ideologis --negara Islam-- sedini mungkin membentengi dan melindungi dirinya dari kemungkinan usaha-usaha penghancuran negara. Perlakuan terhadap ahl al-dzimmah dapat dilihat sebagai cara untuk melindungi negara sekaligus umat Islam. Sebab alasan yang demikian bisa saja dikembalikan kepada al-Qur‟an bahwasanya “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)” (QS. Al-Baqarah (2):120). Atau pernyataan Allah yang berbunyi “Janganlah orang-orang mu‟min mengambil orang-orang kafir sebagai awliya dengan meninggalkan orang-orang mu‟min…” (QS. Ali Imran (3): 28).
Atau juga firmanNya yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu…” (QS. Ali Imran (3):118).
Selain pembatasan pada non muslin di negara islam juga ada pembatasan pada kaum wanita , bahwa kaum wnita tidak bisa menjadi imam suatu negara karena laki-laki lah yang harus menjadi pemimpin. Pendapat ini di dasarkan pada surat al-Nisa ayat 34 yang berbunyi “Laki-laki adalah pemimpin perempuan…”.
Tetapi quraish shihab, Ia menilai bahwasanya tidak tepat untuk menjadikan ayat 34 surat al-Nisa di atas sebagai dasar pembedaan hak politik antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya pendapat itu bukan saja tidak sejalan dengan ayat itu, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat tersebut. Ayat ini terutama berbicara mengenai kepemimpinan seorang suami terhadap seluruh keluarganya dalam urusan rumah tangga. Kepemimpinan inipun tidak mencabut hak-hak isteri dalam banyak segi, seperti pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Menurut Quraish Shihab baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak untuk berpolitik. Ia merujuk sejumlah ayat yang dapat dijadikan dasar pendapatnya. Misalnya al-Qur‟an surat Al-Taubah: 71 menyatakan “Dan orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya‟ bagi yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma‟ruf, mencegah yang munkar, mendirikan salat…”.
Kata awliya‟, dalam pengertiannya mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan; sedang dalam pengertian menyuruh yang ma‟ruf menyangkut segala segi kebaikan, dan di dalamnya termasuk mengkritik atau memberi nasehat kepada penguasa.
Di sisi lain al-Qur‟an juga mengajak umatnya (laki-laki dan perempuan) untuk bermusyawarah seperti firmanNya “Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah” (QS 42:38). Dengan demikian, laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab bersama untuk membangun kehidupan politik bersma. Oleh karena itu tidak pada tempatnya kalau kemudian ada perbedaan hak sipil dan politik antara laku-laki dan perempuan.
C.          Kompatibilitas Islam dengan Demokrasi.
Dari uraian diatas tentunya banyak ada ketidak samaan antara prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al Qur’an dan assunah dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sehingga perlu adanya adaptasi yang parsial terhadap sejumlah ajaran Islam sehingga ia kompatibel dengan demokrasi. Adaptasi parsial ini bisa dilakukan dengan menelusuri sejumlah prinsip-prinsip pokok yang ada di dalam Islam yang bisa dijadikan sebagai ukuran. Dalam kaitan ini akan dikemukakan sejumlah prinsip yang sering dikemukakan oleh beberapa kalangan ilmuwan Islam.
Di antara ilmuwan Muslim yang menyatakan bahwasanya Islam kompatibel dengan demokrasi adalah Abdul Karim Soroush. Soroush adalah seorang pemikir beraliran Syi‟ah. Ia termasuk pendukung Revolusi Iran tahun 1979 dan mengambil peran aktif dalam perbaikan kurikulum universitas pada masa awal revolusi. Tetapi belakangan ia tidak sepaham dengan model pemerintah para mullah itu.
Soroush menyatakan bahwa demokrasi bagi dunia Islam di dasarkan pada dua pilar. Pertama, untuk menjadi orang yang benar-benar beriman, seseorang harus bebas. Keimanan atau keyakinan yang berada di bawah ancaman atau paksaan adalah bukan keimanan yang benar. Dan apabila seorang yang beriman secara bebas tunduk dan patuh, bukan berarti bahwa ia mengorbankan kebebasan. Ia juga tetap memiliki kebebasan untuk meninggalkan keyakinannya. Sangat kontradiksi apabila pada mulanya ada kebebasan untuk beriman, tetapi kemudian menghilangkan kebebasan itu. Kebebasan ini merupakan pilar (basis) demokrasi. Menurut Soroush keyakinan dan keinginan dari mayoritas harus membentuk negara Islam yang ideal. Demokrasi Islam bukan disuntikan dari atas; ia adalah sah apabila dirubah oleh mayoritas, termasuk orang-orang yang tidak beriman.
Kedua, pemahaman umat Islam terhadap dan tentang Islam senantiasa berkembang. Teks kitab suci tidak berubah dan tidak akan berubah, tetapi penafsiran umat Islam terhadap teks suci itu senantiasa berkembang, karena pemahaman itu dipengaruhi oleh masa dan keadaan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa tidak ada penafsiran yang absolut dan bersifat tetap yang berlaku sepanjang waktu dan di setiap tempat. Dan bahkan menurutnya, tidak ada seorang individu atau sekelompok orang yang berhak mengklaim bahwa hanya diri dan kelompoknyalah yang memiliki otoritas untuk melakukan penafsiran terhadap ajaran agama.
Menurutnya Islam adalah agama yang akan terus tumbuh dan berkembang. Tetapi pada saat yang bersamaan Islam tidak harus diperlakukan sebagai ideologi modern atau menjadi totalitarian. Meskipun demikian ia yakin bahwa Islam dapat dijadikan sebagai dasar bagi perundang-undangan modern. Oleh karena itu ada fleksibilitas dalam Islam. Dalam kaitannya dengan demokrasi ditegaskannya bahwa demokrasi Islam dapat diaktualisasikan melalui adanya fleksibilitas ini.

Ilmuwan lain yang berbicara tentang Islam dan demokrasi adalah Rachid al-Ghannouchi. Ghannouchi merupakan pemikir Islam yang lahir dari situasi yang berkembang di Tunisia. Berbeda dengan Soroush yang berlatar belakang Syi‟ah, Ghannouchi memiliki latar belakang Sunni.Dalam kaitannya dengan demokrasi ia menganjurkan suatu „sistem yang islami‟, yang karakteristiknya adalah pemerintahan mayoritas, pemilihan yang bebas, kebebasan pers, perlindungan kepada mayoritas, adanya perlakuan yang sama terhadap semua partai (sekular dan keagamaan), dan pemenuhan hak-hak kepada kaum wanita. Peran Islam adalah memberikan suatu sistem dengan nilai-nilai moral.
Pertama, demokrasi Islam menurutnya pertama-tama sebagai hasil penafsiran terhadap kitab suci. Islam menurutnya tidak datang dengan suatu program khusus berkenaan dengan kehidupan manusia. Islam membawa prinsip-prinsip yang umum. Oleh karena itu, adalah tugas umatnya untuk memformulasikan program tersebut melalui interaksi antara prinsip-prinsip Islam dengan modernitas. Islam memberikan jaminan untuk dilakukannya ijtihad. Proses „syura‟ (bermusyawarah) menurutnya berarti cara pengambilan keputusan yang kembali kepada komunitas secara keseluruhan. Ditambahkannya bahwa nilai-nilai demokratik seperti „pluralisme politik‟ dan „toleransi‟sepenuhnya kompatibel dengan Islam. Islam mengakui adanya realitas pluralisme dalam kehidupan, apakah itu yang berkaitan dengan kesukuan, kebangsaan, kebahasaan, agama, ataupun yang bercorak aliran-aliran politik.
Kedua, demokrasi Islam pada dasarnya merupakan hasil dari pengalaman manusia dewasa ini. Legitimasi negara-negara Muslim kontemporer didasarkan pada kebebasan dari kolonialisme Eropa modern, suatu kebebasan dimana unsur keagamaan dan sekuler, Muslim dan Kristen, terlibat secara bersama-sama. Oleh karena itu „tidak ada ruang‟ untuk membuat perbedaan di antara warga negara, dan persamaan yang sepenuhnya ini merupakan dasar bagi setiap masyarakat Muslim. Ia menegaskan bahwa legitimasi yang sebenarnya adalah legitimasi yang diperoleh melalui pemilihan. Menurutnya Islam mengutuk pemakaian agama untuk tujuan yang bersifat material atau hegomonik, seraya mengutip al-Qur‟an surat al-Hujurat (49):13 “Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu sekalian dari sepasang laki-laki dan perempuan, dan kemudian kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kamu saling kenal mengenal (bukan untuk saling membenci satu sama lain)…”. Ia juga menambahkan bahwa ada keseimbangan antara teks suci dan realitas manusia yang disebut dengan „realism‟ atau „logical reasoning atau „aqlanah‟. „Aqlanah ini merupakan perkembangan yang dinamik dan terus berlangsung. Karena itu, Ghannouchi memiliki keyakinan bahwa Islam dan demokrasi merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan.
Pendapat lain bahwa Islam kompatibel dengan demokrasi dikemukakan oleh Laith Kubba, direktur International Forum for Islamic Dialogue yang berkedudukan di London. Persoalan kompatibilitas Islam dengan demokrasi, menurutnya dapat dilihat dari berbagai perspektif. Kubba menyatakan bahwa Islam mengajarkan prinsip kebebasan, menghargai martabat manusia, persamaan di antara manusia, pemerintahan dengan kontrak, kedaulatan rakyat (popular sovereignity), dan penegakan hukum. Kegagalan umat Islam dalam membangun sistem politik yang terbuka dan pemerintahan yang demokratis berakar pada adanya kebudayaan politik yang otoriter dan manipulasi dalam menafsirkan al-Qur‟an40. Lebih dari itu Kalim Siddiqui menegaskan bahwa hakekat yang sebenarnya dari demokrasi sepenuhnya bergantung kepada pemahaman para pemikir Muslim, yang kemudian merekomendasikan bahwa gerakan Islam itu sendiri harus mengikuti proses demokratik. Dan menurutnya para penguasa feudal telah gagal dalam memahami perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi dalam masyarakatnya.